A. Pendahuluan
Pada dasarnya munculnya motto Vox Populi Vox Dei, dilatari oleh kezaliman Raja Louis XIV dari Prancis (1643-1715), yang selalu berkata dengan pongahnya sampai menjadi termasyhur, yaitu: L’etat c’est moi, yang artinya hukum itu adalah saya!
Pernyataan ini jelas mengandung makna bahwa dirinya identik dengan Tuhan atau dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang keluar dari dirinya, pastilah mewakili Tuhan. Maka, sebagai reaksi terhadap ekspresi itu, orang kemudian memunculkan motto lain, yaitu: Vox Populi Vox Dei. (Rinaldo, 2009)
Menurut Dictionary of the History of Ideas, motto tersebut pertama kali ditemukan dalam surat Alcuin kepada Charlemagne di awal abad pertengahan (abad ke-8) . yang isinya adalah:
In fact it was during the early Middle Ages (eighth century) that the proverb, Vox populi vox Dei was first recorded. It occurs in a letter of Alcuin to Charle- magne. In this letter Alcuin says that the proverb is a customary saying and that the Emperor ought to pay no attention to it, since the populus ought to be led, not followed.
Alcuin dalam suratnya menjelaskan bahwa motto tersebut hanya sesuatu yang biasa saja dan bukan hal yang perlu diseriusi, karena rakyatlah yang seharusnya dipimpin,
E. Cobham Brewer juga menegaskan tentang motto Vox Populi Vox Dei yaitu: “This does not mean that the voice of the many is wise and good, but only that it is irresistible.” Suara terbanyak belum tentu yang terbaik. Rakyat Indonesia tahu dan merasakan betul soal ini. Maka, tentu menjadi tidak pada tempatnya jika Tuhan yang dipersalahkan dalam keruwetan bangsa Indonesia. (Esai, 2008)
Ada juga yang menyatakan bahwa motto ini berasal dari ranah hukum. Yang mana tujuan utamanya adalah agar para hakim menegakkan keadilan berdasarkan asas Ketuhanan. (warmin 2010)
B. Pembahasan
Vox Populi Vox Dei berasal dari bahasa Latin, yang artinya, "suara rakyat adalah suara Tuhan." maksudnya, suara rakyat harus dihargai sebagai penyampai kehendak Ilahi. (Wikipedia, 2010)
Pada era sekarang ini, motto Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), sering menjadi sebuah jargon dalam demokrasi. Yang mana seolah-olah menjadi sebuah pembenaran, bahwa kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan juga, bahwa keinginan rakyat adalah keinginan Tuhan, atau bahwa pilihan rakyat adalah pilihan Tuhan.
Pada dasarnya, suara rakyat memang banyak. Adakalanya saling kontradiksi dan adakalanya prokontra. Kemudian yang sering menjadi perdebatan adalah suara rakyat yang manakah yang merupakan suara Tuhan? Jika dikatakan suara rakyat adalah suara tuhan, maka dalam kacamata Islam, mustahil terjadi kontradiksi dalam “diri” Tuhan. Tuhan Yang Ahad, tidak mungkin menyatakan “benar” dan “salah” pada saat yang bersamaan untuk sebuah perkara. Kecuali jika ada yang meyakini juga bahwa Tuhan Maha Bingung.
Beberapa bukti bahwa suara mayoritas rakyat bukanlah suara Tuhan, diantaranya adalah:
1) Mayoritas umat manusia pada zaman nabi Nuh AS menentang dakwah nabi Nuh AS, akhirnya mereka dihancurkan tuhan dengan banjir besar, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
2) Mayoritas umat manusia pada zaman nabi Isa AS menentang dakwah nabi Isa AS, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
3) Mayoritas umat manusia pada zaman nabi Muhammad SAW menentang dakwah nabi Muhammad SAW, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
4) Dalam pemilu 1955, mayoritas rakyat indonesia memilih partai sekuler, padahal orang yang punya sedikit ilmu saja sudah bisa tahu bahwa sekulerisme bertentangan dengan ajaran Tuhan, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
5) Mayoritas penduduk dunia saat ini adalah kafir, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
6) Diberbagai negara yang penduduknya muslim, banyak partai sekuler yang menang pemilu, padahal partai sekuler menolak pemberlakuan hukum islam secara total di negara, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan
7) Banyak sekali orang yang berbuat maksiat dan dosa di muka bumi ini, itu bukti bahwa suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan (Ainuamri, 2009)
Kebenaran Tuhan bersifat mutlak, sementara kebenaran manusia bersifat relatif. Jika tidak didasari oleh aturan Tuhan, maka nilai kebenaran itu sendiri akan selalu berubah-ubah. Misalnya Judi bisa menjadi benar, begitu pun pencurian, perzinaan dan mabuk-mabukan. karena kecenderungan manusia adalah memenuhi segala keinginannya dengan segala macam cara. Tanpa aturan Tuhan, hukum rimba yang berlaku. Sementara dalam hukum rimba, tidak ada benar-salah, segalanya bisa menjadi benar.
Vox populi vox dei bisa menjadi benar, jika rakyat memang berpegang pada aturan-aturan Tuhan. Maka, bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, jika rakyatnya sendiri tidak mengenal dan “berhubungan” dengan Tuhannya? Tidak cukup mengenal, tapi juga harus sampai -setidaknya- memahami apa yang sesungguhnya dimaksud oleh Tuhan. Barulah kemudian disuarakan.
Jika dihubungkan dengan negara, tidak mungkin ada negara sekuler, seandainya benar yang disuarakan rakyat adalah suara Tuhan. Maka, menjadi menarik ketika ternyata konsep vox populi vox dei lebih dekat dengan sebagian umat Islam yang mencita-citakan berdirinya kembali pemerintahan Islam yang diyakini sebagai sebuah perintah dari Tuhan.
Tentunya mustahil jika -misalnya- rakyat membenarkan perjudian, perzinaan dan hal-hal maksiat lainnya, lantas hal tersebut adalah suara Tuhan juga. Sebab Tuhan tidak mungkin sedungu itu. Oleh karena pada dasarnya Tuhan memiliki sifat-sifat yang sangat mulia dan tidak dimiliki oleh rakyat yang notabene adalah manusia-manusia yang serba memiliki kekurangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar